Jakarta (INFOSELEB) - Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap umat Muslim yang telah baligh dan mampu melaksanakannya. Namun, ada kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak sempat menunaikan kewajiban tersebut hingga meninggal dunia, seperti sakit berkepanjangan atau halangan lain yang dibenarkan secara syariat. Dalam Islam, terdapat ketentuan mengenai cara mengganti puasa bagi orang yang sudah meninggal dunia. Lantas, bagaimana tata cara dan hukumnya? Simak penjelasan berikut ini, melansir NU. Sebagaimana diketahui, puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada seluruh umat Islam. Jika seseorang tidak melaksanakan puasa karena alasan tertentu, baik karena ada uzur ataupun tidak, maka ia diwajibkan menggantinya di hari lain. Kewajiban tersebut juga berlaku bagi orang yang telah meninggal dunia dan memiliki utang puasa yang belum ditunaikan. Para ulama sepakat bahwa puasa yang ditinggalkan oleh orang yang sudah wafat harus diganti. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai tata cara penggantiannya. Menurut NU, artinya: “Jika seseorang memiliki utang puasa namun belum sempat menggantinya hingga wafat, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Apabila selama hidupnya ia tidak mampu mengganti puasa karena uzur yang berkelanjutan hingga meninggal dunia, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Hal ini karena puasa tersebut termasuk ibadah yang tidak memungkinkan untuk ditunaikan hingga ajal menjemput, sehingga kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Namun, jika uzurnya sudah hilang dan ia memiliki kesempatan untuk mengganti puasa tetapi tidak melakukannya, maka puasa yang ditinggalkan harus dibayar dengan fidyah berupa satu mud makanan pokok untuk setiap hari yang ditinggalkan.” Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia bisa diganti dengan cara berpuasa oleh wali atau ahli warisnya. Keluarga yang ditinggalkan dapat menunaikan puasa sebagai pengganti puasa almarhum yang belum sempat dilaksanakan. Pendapat ini berlandaskan pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa, maka walinya berpuasa untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa ahli waris atau orang yang dipercaya dapat melaksanakan puasa atas nama almarhum. Namun, sebagian ulama yang membolehkan wali mengganti puasa orang yang telah meninggal dunia menyamakan hukum puasa dengan ibadah haji. Keduanya merupakan ibadah wajib yang apabila tidak terlaksana, harus dibayarkan. Namun, Imam An-Nawawi berpendapat bahwa menurut mazhab Syafi'i, cara yang lebih utama dalam mengganti utang puasa orang yang telah meninggal dunia adalah dengan membayar fidyah berupa satu mud makanan pokok untuk setiap hari yang ditinggalkan. Artinya: Pendapat yang dipegang dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama, dan dianggap sebagai pendapat yang paling kuat. Puasa termasuk ibadah yang tidak bisa diwakilkan saat seseorang masih hidup, sehingga tidak dapat digantikan oleh orang lain setelah ia meninggal, sebagaimana halnya ibadah salat. Kesimpulannya, mengganti utang puasa bagi orang yang telah meninggal dunia terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama, sebagian besar ulama termasuk mazhab Syafi'i berpendapat bahwa cara mengganti puasa orang yang telah meninggal adalah dengan membayar fidyah berupa makanan pokok sebanyak satu mud untuk setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat kedua, sebagian ulama memperbolehkan wali atau ahli waris untuk berpuasa menggantikan utang puasa orang yang telah wafat, berdasarkan hadis dari Aisyah RA. Kedua pendapat ini sama-sama bertujuan untuk meringankan tanggungan ibadah almarhum. Namun, disarankan untuk mengikuti pendapat yang paling diyakini kebenarannya sesuai dengan mazhab yang dianut. Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus