Menjadi pemenang sejati dalam era perang tarif Trump.

Jakarta (INFOSELEB) – Sudah banyak pakar ekonomi yang menyatakan bahwa perang tarif perdagangan tidak akan menghasilkan pemenang, tetapi justru akan banyak pihak yang merugi dan kesejahteraan secara umum menurun karena inflasi semakin meningkat.
Selaras dengan fakta tersebut, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum dan Perdana Menteri Kanada Justice Trudeau juga telah menegaskan bahwa “tidak ada pemenang dalam perang dagang”. Kedua negara yang merupakan tetangga terdekat Amerika Serikat itu menjadi target utama AS, selain China, dalam perang tarif Trump.
Meski kabar terbaru menyatakan bahwa sejumlah pos tarif dagang diputuskan untuk ditunda oleh pemerintahan Trump, bukan berarti Trump akan meninggalkan tarif selama-lamanya.
Wartawan senior CNN, Jake Talpert, dalam wawancara di acara Late Show with Stephen Colbert, mengemukakan hal itu. Menurut Talpert, orang yang mendukung Donald Trump menyatakan bahwa langkah yang dilakukan oleh Trump hanyalah sebagai gambit atau semacam “gertak sambal”. Dengan demikian, hal ini hanyalah semacam aksi sementara saja agar berbagai pihak yang menjadi sasaran tarif mau bernegosiasi untuk keuntungan AS.
Namun sayangnya, masih menurut Talpert, Trump sebenarnya berpikir tarif merupakan kebijakan ekonomi utama pihaknya, sama seperti yang dilakukan idola Trump, Presiden AS William McKinley yang berkuasa pada 1897-1901.
Salah satu hal terkemuka yang dilakukan McKinley, sebelum menjadi presiden atau saat menjadi anggota DPR AS, adalah menggagas UU Tarif 1890 guna menaikkan tarif bea masuk impor rata-rata hampir 50 persen dengan dalih untuk melindungi industri dan pekerja dalam negeri dari persaingan asing. Ternyata, hasilnya adalah menaikkan rata-rata harga sehingga mencekik konsumen di AS ketika itu.
Peningkatan harga beragam barang sehari-hari itu membuat banyak warga AS menolak kebijakan proteksionisme tersebut sehingga pada pemilu selanjutnya, pihak oposisi, yaitu Partai Demokrat, menang telak atas Partai Republik, di mana McKinley berasal.
Dengan demikian, kekaguman yang dimiliki oleh Trump terhadap McKinley juga membuat kebijakan terkait dengan tarif dipastikan tidak akan hilang dalam jangka waktu dekat, tetapi kemungkinan bisa akan menguat dan bahkan melebar kepada berbagai negara lain.
Pada masa kini, selain Kanada dan Meksiko, China juga menjadi sasaran tembak dari kebijakan tarif yang ditelurkan oleh Trump. Pihak China melalui berbagai pejabatnya juga berulang kali mengingatkan bahwa “tidak ada pemenang dalam perang dagang”.
Menurut kantor berita Associated Press, Menteri Perdagangan China Wang Wentao pada Kamis (6/3) mengingatkan bahwa intimidasi dan ancaman kepada Tiongkok pasti akan gagal, serta Beijing telah melakukan kebijakan balasan dengan menaikkan bea masuk produk AS serta pembatasan lainnya pada korporasi Negeri Paman Sam itu.
Selain itu, Wang mengemukakan bahwa China adalah mitra dagang utama bagi sebanyak 140 negara dan kawasan serta memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan lebih dari 30 negara. Ke depannya, Mendag AS mengungkapkan bahwa pihaknya siap untuk menandatangani lebih banyak perdagangan bebas.
Tentu saja, langkah penandatanganan perjanjian perdagangan bebas dengan banyak negara merupakan salah satu strategi guna mengurangi ketergantungan terhadap berbagai produk dari AS yang dibutuhkan oleh masyarakat China. Beijing juga mendorong perusahaannya untuk meningkatkan partisipasi dalam pameran dagang serta berekspansi secara global.
Selain itu, kebijakan yang dilakukan Tiongkok pada saat ini, menurut Wang, adalah memperluas dukungan kebijakan finansial untuk kredit ekspor serta meningkatkan perdagangan untuk bidang jasa dan
Berbagai kebijakan yang diungkapkan oleh Mendag China itu secara teori merupakan langkah yang bagus untuk meredam dampak dari kebijakan perang tarif yang dilancarkan Trump. Namun, apakah berbagai strategi yang telah dikemukakan tersebut merupakan sebuah langkah jitu yang dapat membuat Tiongkok menjadi “pemenang” dalam perang tarif Trump ini?
Bila menilik kepada berbagai contoh dalam sejarah, biasanya negara yang kerap diuntungkan dalam perang tarif dagang adalah negara yang mampu menguasai pangsa pasar hasil dari peralihan perdagangan dari negara-negara yang terlibat. Ambil contoh dalam perang dagang antara AS dan China pada 2018-2020, yang berlangsung pada masa pertama kepresidenan Trump.
Sejumlah negara yang mampu memperoleh keuntungan selama konflik tarif antara dua negara adidaya itu adalah Vietnam, yang merupakan penerima manfaat utama dari perang tarif dagang tersebut. Hal ini karena ketika AS mengenakan tarif pada produk Tiongkok, maka banyak perusahaan yang mencari basis manufaktur alternatif, dan Vietnam adalah pilihan yang menarik bagi korporasi yang ingin mendiversifikasi rantai pasokan dari China.
Hasilnya, banyak produsen yang memindahkan produksi mereka dari China ke Vietnam untuk menghindari tarif AS atas barang-barang China. Akibatnya, Vietnam mengalami peningkatan yang signifikan dalam ekspor mereka, terutama dalam sektor elektronik, tekstil, dan furnitur, sehingga ke depannya memanfaatkan pula model industri China yang berorientasi ekspor dan mengembangkan basis manufakturnya sendiri.
Negara lainnya yang juga kecipratan untung dengan menjadi basis manufaktur produksi menarik di luar China, antara lain adalah India (yang mampu memanfaatkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah serta memperluas basis industri dalam mengisi kesenjangan dalam rantai pasokan global dampak perang tarif), Korea Selatan (unggul dalam manufaktur bidang elektronik sehingga mampu mengambil manfaat), dan negara-negara kawasan Uni Eropa (alternatif AS dalam mencari produk yang terkena kenaikan tarif oleh China).
Bahkan Meksiko juga pada perang tarif yang dimulai sebelum era pandemi itu juga banyak diuntungkan karena ketika AS mengenakan tarif ke China, banyak produsen dari Tiongkok yang memindahkan operasinya ke Meksiko untuk menghindari tarif dan melanjutkan perdagangan dengan AS, terutama dalam industri suku cadang otomotif hingga tekstil.
Tidak hanya di abad ke-21, banyak contoh historis lainnya yang dapat dipetik dari siapa pihak yang mengambil keuntungan dari perang tarif dagang. Misalnya di abad ke-20, kebijakan tarif Smoot-Hawley oleh AS pada 1930 pada era Depresi Besar menaikkan tarif AS atas ribuan barang impor untuk melindungi lapangan kerja dan industri AS selama krisis ekonomi.
Namun, kebijakan AS itu memicu tarif balasan dari negara lain sehingga memperburuk dampak depresi perekonomian global. Siapa negara yang diuntungkan? ternyata Kanada, yang memiliki hubungan dagang spesial dengan AS ketika itu sehingga agak terlindungi dari dampak tarif Smoot-Hawley. Ekspor agrikultur dan industri Kanada pun kemudian membanjiri pasar AS saat itu.
Dari beragam contoh tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perang tarif sering kali menguntungkan negara-negara yang telah terindustrialisasi atau memiliki kendali atas pasar-pasar strategis. Negara-negara seperti Kanada selama Tarif Smoot-Hawley, dan baru-baru ini, Vietnam selama perang dagang AS-China, telah berhasil memperoleh keuntungan dari perubahan pola perdagangan dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara-negara yang terlibat langsung dalam konflik tarif.
Mereka yang berhasil mengambil manfaat dari perang tarif adalah berbagai pihak yang tidak menjadi pelaku utama dalam konflik tarif dagang tersebut. Karena itu, berbagai negara seharusnya dapat mengambil pelajaran dalam hal ini bahwa sebaiknya sedari awal mereka tidak menjadi pihak yang mencetuskan tarif dagang atau menjadi sasaran utama dari perang dagang karena akan merugikan perekonomian mereka sendiri.
Namun, satu hal yang perlu disorot adalah pemenang sejati dalam persaingan perekonomian adalah mereka yang mampu beroperasi secara berkelanjutan dalam jangka panjang, dan di sinilah etika dan moralitas memainkan peran penting. Mengapa etika dan moralitas cenderung unggul dalam jangka panjang?
Pertama, pelaku ekonomi yang berlandaskan etika dan moralitas yang secara etis membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan lainnya, akan menarik berbagai insan yang memiliki motivasi lebih dari sekadar gaji atau upah belaka. Tidak heran bila sejumlah riset menunjukkan bahwa budaya perusahaan yang dibangun atas rasa hormat, keadilan, dan integritas membantu mempertahankan karyawan, mengurangi pergantian karyawan, dan meningkatkan produktivitas.
Selain itu, pelaku perekonomian dengan landasan etika yang kuat juga sering kali tangguh dalam menghadapi tantangan dalam krisis serta memiliki reputasi sebagai pihak yang adil, transparan, dan bertanggung jawab, yang memungkinkan mereka menghadapi badai dengan lebih efektif daripada mereka yang mengambil “jalan pintas”.
Sebaliknya, berbagai pihak yang mengutamakan laba daripada etika dapat memperoleh kemenangan finansial jangka pendek, tetapi mungkin menghadapi kerusakan reputasi jangka panjang, masalah hukum, dan reaksi keras dari pelanggan, yang dapat merusak kesuksesan mereka di masa mendatang. Meskipun mereka mungkin tampak “menang” dalam jangka pendek, mereka cenderung tidak membangun bisnis yang berkelanjutan dan bertahan lama.
Jadi, secara keseluruhan, langkah AS yang memulai perang tarif dagang dengan berbagai negara apakah akan bertahan lama atau hanya menciptakan efek jangka pendek belaka, memang hanya waktu yang akan menilainya.
Namun, pemenang sesungguhnya adalah mereka yang mampu menciptakan nilai yang berkelanjutan bagi masyarakat luas dan tidak hanya bagi kelompok elite tertentu, tanpa harus terjatuh dalam aksi ancam-mengancam pihak lain.
Copyright © INFOSELEB 2025