Ekonom: Program yang ciptakan lapangan kerja perlu dikedepankan

Jakarta (INFOSELEB) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, pemerintah perlu menomorsatukan program yang menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli rakyat untuk mengantisipasi berlanjutnya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di industri manufaktur.
Menurut dia, program-program mahal yang tidak sejalan dengan tantangan
“Insentif pajak dan non-pajak perlu diberikan untuk sektor manufaktur dan sektor-sektor lain yang padat karya,” kata Wijayanto saat dihubungi INFOSELEB di Jakarta, Senin.
Upaya penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk untuk perjalanan dinas dan rapat, perlu untuk tetap dilanjutkan. Tetapi, imbuh dia, perlu dihindari pemotongan yang terlalu dramatis yang bisa menghentikan aktivitas ekonomi sektor-sektor tertentu.
“Zaman Jokowi-JK, ide penghematan masif juga pernah dijalankan di awal masa pemerintahan, tetapi kemudian disesuaikan setelah melihat dampak yang buruk terkait dengan PHK,” kata Wijayanto.
Belakangan ini, isu PHK menjadi perbincangan hangat seperti yang terjadi pada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dengan lebih dari 10 ribu pekerja terdampak PHK. Selain itu, PHK juga terjadi pada PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Indonesia, dan lainnya.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) juga mencatat ada 62 pabrik yang tutup dan berhenti beroperasi hingga melakukan PHK pada rentan Januari 2023 hingga Januari 2025.
Di sisi lain, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Februari 2025 tercatat pada level yang tinggi yakni 53,6. Terkait dengan hal ini, Wijayanto mengatakan bahwa apa yang terjadi pada PMI manufaktur merupakan fenomena
Pergerakan PMI manufaktur bersifat
“Walaupun demikian, kita perlu syukuri bahwa ekonomi kita berperilaku normal. Jika mendekati Lebaran, PMI tetap stagnan ini merupakan tanda-tanda bahwa ekonomi kita sedang tidak normal,” kata dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa PHK kali ini lebih disebabkan oleh faktor struktural akibat pemerintah dalam 10 tahun terakhir gagal menjaga daya saing dan daya tarik sektor manufaktur. Perhatian lebih diberikan kepada sektor capital intensif seperti mineral, hilirisasi, dan kendaraan listrik (EV).
“Saya khawatir, PHK yang terjadi saat ini akan terus berlanjut, bahkan dengan skala yang lebih besar,” kata Wijayanto.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa