Ekonomi

Strategi industri: meningkatkan kepemilikan lokal dan inovasi.

Salah satu kekurangan terbesar dalam strategi industri Indonesia adalah dominasi perusahaan asing dalam rantai nilai yang sedang berkembang.

Jakarta (INFOSELEB) – Kebangkitan kebijakan industri menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sekadar mengadopsi kembali pendekatan lama tidak cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan, terutama dalam ekonomi global yang semakin berteknologi tinggi.

Indonesia adalah salah satu contoh negara yang menghadapi tantangan dalam menyusun strategi industrinya agar lebih efektif dan berkelanjutan.

Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota penting dari ASEAN, G20, serta BRICS, Indonesia telah berupaya keras untuk membangun fondasi pembangunan jangka panjang.

Salah satu strategi utamanya adalah memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah –termasuk 42% cadangan nikel dunia, serta cadangan besar tembaga, emas, dan timah– untuk mendukung industrialisasi.

Pada tahun 2023, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 1,39 triliun dolar AS, menjadikannya ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Sektor industri berkontribusi sekitar 39% dari PDB nasional, dengan manufaktur menyumbang hampir 20% dari total output ekonomi.

Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel mentah untuk menarik investasi asing langsung (FDI) ke dalam fasilitas pemrosesan domestik. Setelah mengalami pelonggaran, kebijakan ini kembali diperketat pada tahun 2020.

Hasilnya, perusahaan-perusahaan besar seperti Tsingshan, Huayou Cobalt, dan Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL) dari China, serta perusahaan dari Prancis dan Korea Selatan, berinvestasi di Maluku dan Sulawesi.

Pada tahun 2023, Indonesia menjadi penerima investasi terbesar dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) China, dengan nilai investasi mencapai 7.3 miliar dolar AS yang sebagian besar diarahkan ke smelter nikel. Sebagai dampaknya, pangsa pasar Indonesia dalam produksi nikel olahan dunia meningkat dari 23% pada tahun 2020 menjadi 27% pada 2023, dengan lebih dari 50% produksi nikel dunia berasal dari Indonesia.

Selain itu, nilai tambah lokal meningkat secara signifikan. Jika sebelumnya Indonesia hanya mengekspor Nickel Pig Iron (NPI), kini produksi telah berkembang ke produk mineral olahan seperti nikel sulfat, yang menjadi komponen utama dalam industri kendaraan listrik (EV) dan baterai. Ekspor produk nikel olahan meningkat dari 3 miliar dolar AS pada 2019 menjadi lebih dari 30 miliar dolar AS pada 2023.

Sejak 2019, pemerintah Indonesia membatasi impor kendaraan listrik (EV) dalam bentuk utuh (CBU) untuk memberikan keuntungan kepada kendaraan listrik yang dirakit di dalam negeri dengan baterai berbasis NCM (lithium, nikel, kobalt, dan mangan). Kebijakan ini mendukung peningkatan penjualan kendaraan listrik produksi Hyundai di Indonesia.

Namun, pada Desember 2023, pemerintah mulai memberikan pengecualian impor bagi perusahaan yang berencana membangun pabrik di Indonesia sebelum 2026. Perusahaan China seperti BYD memanfaatkan kebijakan ini dan mulai menguasai pasar dengan kendaraan berbasis baterai LFP (lithium, besi, fosfat). Akibatnya, penjualan Hyundai IONIQ 5 menurun drastis dari 7.176 unit pada 2023 menjadi hanya 1.561 unit pada 2024.

Sementara itu, industri baterai kendaraan listrik di Indonesia masih menghadapi keterbatasan, terutama dalam produksi material katoda – komponen kunci yang terdiri dari kobalt, nikel, dan mangan.

Hingga saat ini, nikel olahan masih diekspor ke luar negeri untuk diproses menjadi bahan katoda sebelum diimpor kembali untuk produksi baterai. Meskipun pabrik katoda berbasis LFP telah diresmikan pada Oktober 2024 dan ada dua perusahaan asing yang berencana membangun pabrik katoda nikel, ketidakpastian pasar EV masih menjadi tantangan besar bagi proyek ini.

Salah satu kekurangan terbesar dalam strategi industri Indonesia adalah dominasi perusahaan asing dalam rantai nilai yang sedang berkembang. Tidak ada kebijakan khusus yang mendorong keterlibatan perusahaan lokal dalam investasi ini.

Berbeda dengan Malaysia yang menerapkan pajak ekspor minyak sawit mentah untuk mendorong kepemilikan domestik dalam industri pemrosesan, Indonesia belum memiliki regulasi serupa untuk sektor nikel. Misalnya, larangan ekspor nikel mentah tidak diikuti dengan kebijakan yang mewajibkan kemitraan antara perusahaan asing dan lokal, baik dalam bentuk usaha patungan (joint venture) maupun alih teknologi.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan rencana menarik investasi sebesar 600 miliar dolar AS di sektor energi terbarukan, perikanan, minyak dan gas, pertanian, dan pertambangan untuk meningkatkan produksi bernilai tambah tinggi. Namun, tanpa kebijakan yang mendorong kepemilikan lokal, industri ini tetap akan berada di bawah kendali asing.

Dalam menghadapi tantangan industri, digitalisasi telah menjadi faktor penting yang dapat meningkatkan daya saing sektor manufaktur Indonesia. Program Making Indonesia 4.0 menargetkan peningkatan efisiensi dan produktivitas industri melalui adopsi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan otomatisasi berbasis robot.

Salah satu contoh penerapan digitalisasi adalah penggunaan sistem manufaktur berbasis IoT dalam pabrik smelter nikel, yang memungkinkan pemantauan real-time terhadap proses produksi dan optimalisasi konsumsi energi. Selain itu, beberapa perusahaan otomotif yang beroperasi di Indonesia mulai mengintegrasikan sistem manufaktur berbasis data untuk meningkatkan efisiensi rantai pasok dan mengurangi limbah produksi.

Namun, adopsi digitalisasi dalam industri manufaktur Indonesia masih menghadapi tantangan, termasuk kurangnya infrastruktur teknologi dan keterbatasan tenaga kerja yang memiliki keterampilan digital. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong lebih banyak program pelatihan tenaga kerja berbasis teknologi serta memberikan insentif bagi industri yang mengadopsi teknologi manufaktur canggih.

Strategi industri Indonesia memang memiliki tujuan yang baik, tetapi masih belum lengkap. Kebijakan yang mendorong inovasi, diversifikasi dan kepemilikan lokal dalam rantai nilai industri strategis perlu diperkuat dan program branding nasional juga perlu dikembangkan untuk meningkatkan citra produk buatan Indonesia di pasar internasional agar Indonesia dapat mencapai status ekonomi maju pada 2045. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendorong alih teknologi dan kemitraan dengan perusahaan domestik agar manfaat dari industrialisasi tidak hanya dinikmati oleh investor asing.

Dengan mempercepat digitalisasi di sektor manufaktur dan meningkatkan keterlibatan tenaga kerja dalam teknologi industri, Indonesia dapat menciptakan ekosistem industri yang lebih berdaya saing, berkelanjutan, dan memberikan manfaat luas bagi perekonomian nasional serta masyarakat secara keseluruhan.

*) Dr. Aswin Rivai, SE., MM adalah pemerhati Ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta

Copyright © INFOSELEB 2025

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button