APBN defisit Rp31,2 T, ekonom sebut perlunya reformasi fiskal

Munculnya defisit fiskal sejak awal tahun menandai bahwa tahun 2025 tidak bisa lagi dipandang sebagai tahun fiskal biasa,
Jakarta (INFOSELEB) – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 yang mengalami defisit Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) menandai perlunya langkah untuk reformasi fiskal.
Selain defisit, tantangan kinerja fiskal di awal tahun ini juga diikuti dengan pendapatan negara dan penerimaan pajak yang menurun. Data APBN KiTa edisi Februari 2025 mencatatkan pendapatan negara sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini.
“Jika dibandingkan periode yang sama pada 2024, angka ini turun drastis sebesar 20,85 persen, dari sebelumnya Rp400,4 triliun. Penurunan ini merupakan sinyal keras bahwa fondasi fiskal Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, bahkan sebelum memasuki kuartal kedua tahun anggaran,” kata Achmad kepada INFOSELEB di Jakarta, Kamis.
Begitu juga dengan penerimaan pajak yang tercatat Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target, turun drastis 30,19 persen dari capaian Februari 2024 yang sebesar Rp269,02 triliun.
Dia menyoroti bahwa implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang diluncurkan sejak 1 Januari 2025, menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pemungutan pajak.
“Coretax yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi perpajakan justru menghadirkan tantangan baru. Banyak wajib pajak kesulitan melaporkan dan membayar pajak, yang berdampak pada anjloknya penerimaan pajak,” jelasnya.
Sebaliknya, belanja negara hingga Februari 2025 tetap berada di level tinggi, yakni sebesar Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target.
Meski secara nominal sedikit lebih rendah dibandingkan belanja pada Februari 2024 yang mencapai Rp374,32 triliun, besarnya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, termasuk belanja sosial, subsidi, hingga program lainnya membuat tekanan fiskal kian berat.
Alhasil, untuk pertama kalinya sejak 2021, APBN mencatatkan defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Padahal, tahun lalu pada periode yang sama, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp26,04 triliun.
“Munculnya defisit fiskal sejak awal tahun menandai bahwa tahun 2025 tidak bisa lagi dipandang sebagai tahun fiskal biasa,” terangnya.
Lebih lanjut, Achmad menekankan pentingnya pemerintah untuk menata ulang prioritas belanja di tengah penurunan pendapatan.
“Belanja yang tidak mendukung pemulihan ekonomi atau pengurangan kemiskinan harus dievaluasi. Program-program populis dengan anggaran besar seperti makan siang gratis perlu dikaji ulang dalam kerangka keberlanjutan fiskal,” imbuhnya.
Dirinya juga memperingatkan risiko defisit yang bisa membengkak hingga Rp800 triliun atau sekitar tiga persen dari PDB jika tidak ada langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah.
“Jika reformasi fiskal tidak segera dilakukan, kita berisiko masuk dalam lingkaran defisit yang terus melebar, beban utang yang meningkat, dan terbatasnya ruang fiskal untuk mendukung kebutuhan dasar rakyat,” tegas Achmad.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan tiga langkah strategis.
Pertama, audit independen terhadap sistem Coretax untuk mengatasi hambatan teknis dan memastikan penerimaan pajak kembali normal.
Kedua, peninjauan ulang belanja negara dengan fokus pada program yang berdampak langsung pada rakyat miskin dan pemulihan ekonomi.
Ketiga, diversifikasi sumber pendapatan negara melalui optimalisasi dividen BUMN dan efisiensi aset negara.
“Indonesia saat ini membutuhkan langkah nyata dalam menata fiskal negara. Bukan sekadar optimisme atau penundaan kebijakan, tetapi reformasi fiskal yang terukur dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat,” tuturnya.
Adapun dalam konferensi pers hari ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa defisit sebesar Rp31,2 triliun masih dalam target APBN 2025 yang sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Pewarta: Bayu Saputra