Mesir dan Qatar bahas upaya menstabilkan gencatan senjata di Gaza

Rencana tersebut diperkirakan akan memakan waktu lima tahun dengan biaya sekitar 53 miliar dolar AS (sekitar Rp871,1 triliun)
Kairo (INFOSELEB) – Mesir dan Qatar menggelar pembicaraan pada Rabu (12/3) untuk membahas upaya menstabilkan gencatan senjata di Jalur Gaza, serta perjanjian pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel.
Pertemuan antara Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman, dan Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, di ibu kota Qatar, Doha, berlangsung sehari setelah dimulainya putaran baru negosiasi untuk mengimplementasikan tahap kedua dari perjanjian gencatan senjata di Gaza.
Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir, kedua pihak membahas hubungan bilateral serta upaya menstabilkan perjanjian gencatan senjata dan memfasilitasi pertukaran sandera serta tahanan di Gaza.
Mereka juga menekankan perlunya mempercepat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza guna memenuhi kebutuhan mendesak rakyat Palestina.
Selain itu, kedua pejabat tersebut menindaklanjuti hasil KTT luar biasa negara-negara Arab mengenai Gaza yang digelar di Kairo pada 4 Maret, serta pertemuan luar biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah pekan lalu.
Abdelatty dan Sheikh Mohammed juga membahas langkah-langkah untuk mengaktifkan dan merealisasikan rencana Arab dalam rekonstruksi Gaza, termasuk mekanisme penggalangan dana yang diperlukan, demikian menurut kementerian tersebut.
KTT Arab dan pertemuan OKI sebelumnya menyetujui rencana komprehensif untuk membangun kembali Gaza tanpa memindahkan penduduk Palestina dari wilayah tersebut.
Rencana tersebut diperkirakan akan memakan waktu lima tahun dengan biaya sekitar 53 miliar dolar AS (sekitar Rp871,1 triliun).
Usulan dari negara-negara Arab itu muncul setelah rencana kontroversial mantan Presiden AS, Donald Trump, yang ingin “mengambil alih” Gaza dan merelokasi penduduk Palestina untuk mengubahnya menjadi apa yang ia sebut sebagai “Riviera Timur Tengah.”
Gagasan tersebut ditolak oleh dunia Arab dan banyak negara lain karena dianggap sebagai bentuk pembersihan etnis.
Sejak Oktober 2023, sekitar 50.000 orang — sebagian besar perempuan dan anak-anak — telah tewas dalam serangan brutal Israel di Gaza.
Serangan tersebut dihentikan sementara setelah gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan yang mulai berlaku pada Januari.
Pada November tahun lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas serangannya di wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu.
Penerjemah: Primayanti