Dunia

BRIN soroti pentingnya pengarusutamaan HAM nelayan sejalan Asta Cita

Jakarta (INFOSELEB) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya pengarusutamaan Hak Asasi Manusia (HAM) nelayan seperti yang dipromosikan oleh Konvensi ILO 188 dan sejalan dengan misi Asta Cita Prabowo-Gibran.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Peneliti Senior BRIN, Tri Nuke Pudjiastuti dalam acara Peluncuran Hasil Survei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)-BRIN tentang Pekerjaan Layak di Sektor Perikanan Laut di Jakarta, Selasa.

“Meratifikasi Konvensi 188 dan Protokol 2014 tentang konvensi kerja paksa ini menjadi bagian yang penting bagi Indonesia guna menyelaraskan hukum nasional dan standar ketenagakerjaan internasional, memperkuat upaya dan meningkatkan kondisi kerjaan nelayan serta memerangi kerja paksa,” kata Tri.

Konvensi ILO No. 188 adalah Konvensi tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para pekerja di sektor perikanan, termasuk kondisi kerja yang layak, keselamatan di kapal, dan perlindungan sosial.

Sedangkan Protokol 2014 tentang Perikanan, berfungsi sebagai pelengkap dan penguatan terhadap Konvensi 188.

Tri menuturkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan besar di dunia dan memiliki garis pantai yang terpanjang keempat, sehingga sektor perikanan memegang peranan penting.

Kendati demikian, penangkapan ikan di laut merupakan salah satu profesi yang paling berbahaya, dan berbagai risiko berpotensi terjadi. Bukan hanya cuaca, tetapi juga pembajakan, eksploitasi, kerja paksa, perdagangan orang, pelecehan dan sebagainya.

Indonesia, lanjutnya, telah memiliki berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur pekerjaan layak di sektor perikanan, yang telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan prinsip-prinsip dan hak dasar di tempat mereka bekerja, termasuk memerangi kerja paksa dan pekerjaan anak dengan meratifikasi berbagai Konvensi ILO.

Namun, tantangan di sektor perikanan tetap tinggi karena yurisdiksi yang tumpang tindih, kesulitan dalam menegakkan peraturan ketenagakerjaan, khususnya untuk armada penangkapan ikan skala kecil dan peradaran jauh. Untuk itu, meratifikasi Konvensi 188 dan Protokol 2014 tentang konvensi kerja paksa ini menjadi bagian yang penting bagi Indonesia.

“Sayangnya pengaturan dan pengawasan serta pelindungan kepada mereka terlihat belum mencukupi. Bukan tidak ada, sudah ada, dan itu kerja luar biasa antara KKP (Kementarian Kelautan dan Perikanan) maupun Kemnaker (Kementerian Ketenagakerjaan) maupun dari berbagai pihak. Tetapi masih belum cukup, mungkin juga karena luasnya,” ucapnya.

Peneliti itu menyampaikan bahwa hasil survei BRIN bersama ILO yang menemukan sejumlah pelanggaran terhadap hak-hak pekerja awak kapal perikanan, termasuk kerja paksa, menjadi kekuatan dasar dalam menyusun peraturan baru dan menjadi koridor implementasi di lapangan.

Apalagi, Presiden Prabowo mempunyai misi untuk memperkokoh HAM, meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, hingga penguatan sumber daya manusia, yang tercantum dalam delapan misi Asta Cita.

“Hasil (survei) menunjukkan adanya kesenjangan dan inkonsistensi legislasi dengan standar internasional dalam hal status pekerjaan, pendapatan, jam kerja, kesehatan dan keselamatan, jaminan sosial, dan prevalensi pekerja anak dan pekerja paksa. Padahal kita semua tahu, delapan misi atau Asta Cita Presiden Prabowo jelas terkait dengan penegakan HAM,” tuturnya.

“Apa yang menjadi kebijakan Presiden kita bukan sekedar wacana, tetapi haruslah diimplementasikan. Dalam situasi yang saat ini yang tidak mudah, tantangan yang tidak gampang, maka penting mempertimbangkan kembali reformasi hukum dan politik, serta bagaimana mengimplementasikannya di Indonesia yang ditujukan untuk menghapuskan kerja paksa di sektor perikanan,” tambahnya.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button